SUMENEP, Indeks Jatim – Gelombang kemarahan publik menyeruak setelah stasiun televisi Trans7 menayangkan sebuah program yang dinilai menyinggung dan melecehkan dunia pesantren.
Tayangan tersebut bukan sekadar kesalahan redaksional, melainkan sinyal bahaya dari menurunnya kepekaan kultural media nasional. Kritik keras datang dari berbagai pihak, termasuk anggota DPRD Sumenep, M. Ramzi, S.IP yang menilai Trans7 telah abai terhadap nilai-nilai luhur yang selama ini dijaga oleh komunitas pesantren.
“Tayangan itu bukan sekadar kelalaian teknis, tetapi bentuk penghinaan terhadap tradisi keilmuan yang telah mengakar di pesantren Nusantara, Pesantren bukan hanya lembaga pendidikan agama, tetapi juga pusat moral dan kebudayaan Islam yang menjaga peradaban bangsa” tegas Ramzi.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Ramzi, tindakan Trans7 menunjukkan rendahnya kontrol redaksional dan lemahnya kesadaran terhadap konteks sosial masyarakat Indonesia. Ia menilai, stasiun televisi sebesar Trans7 seharusnya menjadi teladan dalam menjaga etika penyiaran, bukan justru menjadi sumber keresahan.
“Trans7 seharusnya peka terhadap nilai-nilai lokal. Jangan menampilkan konten yang bisa memicu keresahan masyarakat” ujar Ramzi
Reaksi keras juga datang dari kalangan santri dan pengasuh pesantren. Mereka menilai siaran tersebut bukan sekadar pelanggaran jurnalistik, tetapi juga serangan ideologis terhadap institusi keagamaan yang selama ini menjadi benteng moral bangsa. Santri menilai, tayangan itu berpotensi menggoyahkan kepercayaan publik terhadap pesantren sebagai pusat pendidikan dan spiritualitas Islam di Indonesia.
Kemarahan publik kian memuncak setelah diketahui bahwa tayangan tersebut menyinggung KH. Anwar Manshur, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri dan merupakan salah satu pesantren tertua dan paling berpengaruh di Tanah Air.
Para tokoh pesantren menilai penyebutan nama besar seorang ulama sepuh dalam konteks yang tidak pantas adalah tindakan yang tidak beretika dan menistakan kehormatan ilmu.
“Ini bukan sekadar soal televisi, Ini soal penghormatan terhadap ulama yang menjadi panutan umat” kata salah seorang kiai.
M. Ramzi menegaskan bahwa kasus ini menyingkap problem yang lebih dalam dari sekedar tayangan bermasalah, tapi juga kegagalan media Trans7 memahami ruang publik sebagai ruang nilai. Ia mendesak Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk turun tangan.
“KPI tidak boleh hanya memberi teguran formal, harus ada evaluasi menyeluruh terhadap sistem penyiaran nasional agar kasus seperti ini tidak terulang. Media harus belajar menghormati kearifan budaya bangsa.” pinta Ramzi.
Nada kritis juga disuarakan oleh Forum Santri Madura (FSM) yang mencurigai adanya pola sistematis di balik tayangan tersebut. FSM menilai bahwa penyiaran seperti itu berpotensi mengubah persepsi publik terhadap pesantren dan melemahkan peran ulama di ruang publik.
“Pesantren adalah penjaga tradisi, bukan hambatan modernisasi. Jangan jadikan mereka korban narasi yang menyesatkan,” tulis pernyataan resmi FSM.
Dampak sosial dari tayangan itu pun meluas. Tagar #BelaPesantren bergema di berbagai platform media sosial, menjadi simbol perlawanan kultural terhadap banalitas media. Dari Madura hingga Kediri, para kiai dan santri menyerukan boikot terhadap program-program televisi yang melecehkan simbol keagamaan.
Ramzi menutup pernyataannya dengan refleksi tajam mengenai masa depan media Indonesia.
“Lembaga penyiaran seharusnya menjadi media edukatif, bukan alat provokasi yang mencederai nilai-nilai luhur bangsa, kasus ini harus menjadi pelajaran. Televisi tidak hanya punya tanggung jawab informatif, tetapi juga moral dan kultural” harap M. Ramzi.
Kasus Trans7 menjadi cermin buram dari krisis tanggung jawab di dunia penyiaran nasional. Di tengah arus komersialisasi yang kian deras, media seakan kehilangan arah, ia lupa bahwa di balik setiap tayangan, ada kepercayaan publik yang harus dijaga. Jika televisi tak lagi menghormati nilai dan kearifan lokal, maka yang tersisa hanyalah layar penuh sensasi, tapi kosong dari makna
Penulis : A. Warits
Editor : Ghauzan