OPINI, Indeks Jatim – Kiai, santri dan pesantren adalah tiga elemen yang membentuk ekosistem spiritual dan intelektual khas Nusantara, sebuah harmoni antara ilmu, adab, dan keteguhan hati. Di tangan kiai, pesantren bukan sekadar tempat menimba ilmu agama, melainkan kawah candradimuka yang menempah karakter, mengasah logika, dan menyalakan semangat perjuangan santri.
Dari bilik-bilik sederhana yang penuh kitab kuning dan doa malam, lahir generasi yang berpikir tajam namun berhati teduh, berani bersuara namun tetap beradab. Pesantren adalah ruang di mana tradisi bertemu peradaban, dan para santri menjadi jembatan yang menyalakan masa depan dengan cahaya ilmu dan keikhlasan.
Di pesantren, ilmu bukan sekadar diajarkan, namun ia ditanam dengan kesabaran, disiram dengan adab, dan dipanen dengan ketulusan. Sebelum santri diajak memahami kitab, mereka lebih dulu diajarkan memahami hati. Sebab para kiai tahu, ilmu tak akan menetap di dada yang sombong.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Socrates pernah berkata, “The only true wisdom is in knowing you know nothing.” Dalam ketidaktahuan itulah, manusia belajar untuk merendah, untuk membuka ruang bagi cahaya pengetahuan. Dan seperti diingatkan Al-Ghazali, ilmu adalah cahaya yang tidak akan masuk ke hati yang gelap oleh kesombongan. Maka di pesantren, tunduk di hadapan guru bukan tanda kelemahan, melainkan pengakuan paling luhur bahwa kerendahan hati adalah pintu pertama menuju kebijaksanaan.
Tawadhu’ bukan sekadar sopan santun. Ia lebih dalam dari sekadar menunduk atau mencium tangan. Tawadhu’ adalah kesadaran batin bahwa di hadapan guru, kita sedang berhadapan dengan perantara ilmu, sesuatu yang datang dari Allah. Maka menghormati guru berarti menghormati sumber ilmu itu sendiri.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
“Bukanlah termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua, tidak menyayangi yang lebih muda, dan tidak mengetahui hak guru (orang berilmu).” (HR. Ahmad, no. 23408; hasan)
Hadits ini sederhana, tapi tajam. Ia menegaskan bahwa menghormati guru bukan perkara tambahan dalam agama, melainkan bagian dari identitas seorang Muslim.
Saya teringat kisah Imam Syafi’i, yang ketika belajar kepada Imam Malik, membuka lembaran kitab dengan sangat pelan agar tidak menimbulkan suara. Bayangkan, seorang calon mujtahid besar saja begitu lembut di hadapan gurunya. Disini terlihat jelas bahwa ilmu tidak hanya lahir dari kecerdasan, tapi juga dari hati yang tunduk.
Di pesantren, banyak kisah kecil tentang tawadhu’. Ada santri yang rela menunggu berjam-jam di depan dhalem kiai hanya untuk mencium tangan beliau. Ada yang menulis ulang pelajaran dengan tinta terbaik, karena menganggap huruf-huruf yang diajarkan gurunya adalah cahaya. Ada pula yang tidak berani duduk lebih tinggi dari tempat duduk ustadznya, karena merasa itu kurang sopan. Dari luar, mungkin tampak berlebihan. Tapi bagi mereka, itu bukan formalitas. Itu adalah bentuk cinta dan penghormatan.
Imam Al-Ghazali pernah berkata dalam Ihya’ ‘Ulumuddin, bahwa ilmu tidak akan diperoleh tanpa enam hal yakni kecerdasan, semangat, kesungguhan, bekal, bimbingan guru, dan waktu yang panjang. Coba kita lihat di antara semua syarat itu, guru menempati posisi yang tak tergantikan. Maka tidak heran jika para ulama terdahulu mengajarkan “Adab di atas ilmu.”
Ada satu hadits lain yang menarik untuk direnungkan. Rasulullah ﷺ bersabda “Adapun kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR. Muslim, no.91)
Kesombongan ini bisa muncul halus di hati penuntut ilmu, ketika merasa lebih tahu daripada gurunya, atau menganggap nasihat kiai sudah “kuno”. Padahal di sanalah letak ujian sebenarnya. Ilmu yang datang dari guru bukan hanya kumpulan pengetahuan, tapi pancaran pengalaman, keikhlasan, dan keberkahan. Dan keberkahan hanya bisa ditangkap oleh hati yang rendah.
Dulu, Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata tentang gurunya, Imam Syafi’i “Tidak ada di muka bumi ini yang lebih aku cintai daripada duduk di majelis Syafi’i”. Sungguh, tawadhu’ tidak membuat Imam Ahmad menjadi kecil, justru dari kerendahan hati itu, Allah meninggikan derajatnya hingga dikenang sepanjang masa.
Begitulah, di pesantren, tawadhu’ bukan sekadar pelajaran etika. Ia merupakan salah satu sifat spiritual tingkat tinggi, ketika seorang santri menundukkan kepala di depan gurunya, ia sebenarnya sedang menundukkan hatinya di hadapan Allah. Dari situlah ilmu menjadi terang, dan keberkahan mulai mengalir.
Maka jika hari ini ada santri yang menulis pelajaran sambil mencium tangan gurunya setiap pagi, jangan buru-buru menilai itu kuno. Sebab, di balik sikap itu tersembunyi rahasia yang membuat ilmu tetap hidup, rendah hati yang tulus, dan cinta yang bersumber dari iman.
*Santri Nurul Islam
Penulis : Abd. Basith, S.Sy.,MH